Substansi Representative Di Balik Simbol Religiusitas I (Pendahuluan)

November 24, 2008 at 10:31 am (Filsafat dan Gaya Hidup)

Artikel ini saya tulis berdasarkan keprihatinan saya atas matinya tuhan manusia yang telah dibunuh oleh orang-orang yang selama ini mencemooh blog saya. Artikel ini juga bertujuan untuk menjawab komentar-komentar para pengunjung blog ini atas pemuatan berbagai macam artikel controversial saya. Artikel ini akan saya post setahap demi setahap, berdasarkan kerangka penulisan di bawah ini. Hal ini bertujuan agar artikel yang ada tidak terlalu panjang.

I. Pendahuluan

II. Simbol, Semiotika, Atau Apalah Namanya

III. Asal-Usul Yang Dituhankan

IV. A Hero; Korelasi Muhammad, Yesus, Dengan Superman

V. Hiperrealitas Buta

VI. Agama; Peti Mati Tuhan

VII. The Unknown And The Unnamed

VIII. Tuhan Tidak Berdamai

IX. Hanya Jika Tuhan Di Sekitar Kita

X. Substansi Representative; A Conclusion

Ok, mari kita mulai penjabarannya.

I. Pendahuluan

Berjalan Ke Barat Waktu Pagi Hari

“waktu berjalan ke barat di waktu pagi hari matahari mengikutiku di belakang
aku berjalan mengikuti bayang-bayangku sendiri yang memanjang di depan
aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan bayang-bayang
aku dan bayang-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan…”
(Sapardi Djoko Damono)

Tuhan, sebuah kata yang dulunya tidak bermakna apa-apa. Maklum, sama halnya dengan kata lain, “tuhan” adalah tanda, semacam symbol formal terhadap sesuatu yang ditunjuk manusia. Charles Sanders Pierce, seorang filosof Perancis, mengatakan bahwa kata merupakan ekspresi dari logika formal manusia. Oleh karena itu, bisa jadi, karena keterbatasan linguistic, kata tidak mencerminkan fakta/realita yang ingin disampaikan sesungguhnya. Facta non verba. Tetapi, hebatnya lagi, predikat yang diberikan pada ‘tuhan’ inilah yang mencengangkan. Sebenarnya, ‘tuhan’ memiliki kedudukan sama dengan kata-kata yang lain, hanya saja, manusia –sebagai pemberi logika- telah memberikan ‘tuhan’ dengan predikat super. Tidak salah. Wajar saja, toh hakikat manusia memang selalu merasa tidak puas. Merasa ada yang lebih darinya. Inilah pangkal dari keberadaan ‘tuhan’ dan agama saat ini (saya akan membahasnya lebih lanjut pada bab III).

Apa yang ingin saya bahas di sini adalah mengenai simbolisasi religious. Kalau saya lebih suka menyebutnya sebagai substansi representative, yaitu sesuatu yang mendefinisikan sesuatu yang lain, hingga terkadang makna sesuatu yang didefinisikan itu malah menjadi kabur. Istilah kerennya adalah semiotika religious (Audifax. 2007. Semiotika Tuhan. Pinus). Apapun istilahnya, tetapi maknanya sama, yaitu (itu tadi) simbolisasi religious. Hal ini penting saya bahas, karena symbol dengan yang disimbolkannya itu bagaikan bayang-bayang dan benda realnya. Ironis, tidak banyak orang yang menyadari hal ini. Banyak orang yang terlibat konfrontasi tidak intelek hanya karena mempermasalahkan “bayang-bayang” itu. Katanya, bayang-bayang itu merupakan refleksi sejati dari esensi transenden. Tapi nyatanya ? Mereka meributkan bentuk bayang-bayang itu. Mereka lupa kalau matahari berevolusi. Tidak hanya diam di atas cakrawala saja. Aneh saja melihat tingkah mereka, bertengkar demi bayang-bayang padahal bayang-bayang itu sendiri musykil untuk bertengkar. Persis seperti yang dikatakan Sapardi Djoko Damono, “bayang-bayang tidak pernah meributkan siapa yang berjalan paling depan”. Manusialah yang selalu mempermasalahkannya, wong bayang-bayang saja tidak protes, koq manusia malah protes ?

Manusia suka sekali membuat setumpuk parameter dan definisi tentang bayangan dan benda real itu yang –katanya- universal. Jacques Derrida pernah mengatakan jika banyak parameter-parameter tadi dianggap memiliki validitas universal, padahal sejatinya masih banyak parameter itu yang tidak menangkap apa yang diharapkan seluruh manusia. Alih-alih, parameter tersebut malah mencekokkan setumpuk rules yang menguntungkan sejumlah orang dan merugikan orang lain –tergantung pada konteksnya-. Seharusnya, masih menurut Derrida, parameter-parameter itu harus mempunyai dimensi tambahan, yaitu semacam tanggung jawab di depan alteritas dan perbedaan, apa yang melampaui batas-batas deskripsi, terpencil, dan sunyi. Ini berarti harus mengartikulasikan tuntutan universalisme yang diasosiasikan dengan pencerahan. Pada akhirnya, ini akan memulihkan penglihatan manusia –yang semula kabur karena “katarak”- sehingga ia mampu melihat entitas sejati di balik bayang-bayang itu, bukan hanya substansi representative belaka.

To be continued

3 Comments

  1. yesalover said,

    Artikel ini saya persembahkan untuk sahabat elektro saya yang lebih pintar dari saya, sehingga berkali-kali memberitahu saya betapa bodohnya diri saya ini.

  2. joice said,

    Dah gw tebak sahabat elektro lo….
    hohoho….

  3. religiusitas said,

    nice post sob…………..

Leave a comment